Beranda | Artikel
Dua Akar Penghambaan
Minggu, 15 Juni 2014

35

Secara bahasa ibadah bermakna perendahan diri dan ketundukan (lihat Fath al-Majid Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 17, at-Tauhid al-Muyassar, hal. 53). Oleh sebab itu orang arab menyebut jalan yang biasa dilalui orang dengan istilah thariq mu’abbad (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34]). Yaitu jalan yang telah dihinakan, karena telah banyak diinjak-injak oleh telapak kaki manusia (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 34). Sehingga, ibadah bisa diartikan dengan perendahan diri, ketundukan, dan kepatuhan (lihat at-Tanbihat al-Mukhtasharah Syarh al-Wajibat, hal. 28).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Menurut pengertian syari’at ibadah itu adalah suatu ungkapan yang memadukan antara kesempurnaan rasa cinta, ketundukan, dan rasa takut.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah).

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Ibadah adalah kecintaan dan tundukan secara total, disertai kesempurnaan rasa takut dan perendahan diri.” (lihat Tafsir al-Fatihah, hal. 49 tahqiq Dr. Fahd ar-Rumi)

Dalam kitabnya al-Wabil ash-Shayyib, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, bahwa dalam menempuh perjalanan penghambaan menuju Allah seorang hamba harus memadukan dua hal; yaitu musyahadatul minnah dan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal.

Yang dimaksud dengan musyahadatul minnah atau ‘menyaksikan anugerah’ adalah kesadaran dan keyakinan di dalam diri kita mengenai limpahan nikmat dan karunia yang selalu Allah curahkan kepada kita, nikmat yang sedemikian banyak dan tak mungkin dihitung karena saking banyaknya. Tidaklah ada nikmat dan kebaikan yang kita rasakan kecuali semuanya berasal dari Allah ta’ala. Dengan sikap inilah akan muncul dalam diri hamba rasa cinta, syukur, dan pujian kepada Allah.

Yang dimaksud dengan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal atau ‘menelaah aib diri dan amalan’ adalah kesadaran dan keyakinan di dalam diri kita bahwa kita memiliki banyak kekurangan, aib, dan dosa. Kita harus mengakuinya dan merendah di hadapan Allah agar Allah berkenan mengampuni dosa dan kesalahan kita. Dari sinilah akan muncul perendahan secara total kepada Allah dan kesadaran bahwa kita amat fakir dan lemah di hadapan Allah, Allah lah yang maha kaya sedangkan kita ini fakir.

Kedua hal inilah yang terkandung di dalam penggalan doa sayyidul istighfar yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbunyi “abuu’u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu’u bi dzanbii..” Artinya, “Aku mengakui kepada-Mu akan segala nikmat-Mu kepadaku, dan aku juga mengakui akan dosa-dosaku.”

Ibnul Qayyim rahimahullah juga menjelaskan, bahwa ibadah kepada Allah ditegakkan di atas dua pondasi, yaitu hubbun taammun/kecintaan yang sempurna, dan dzullun taammun/perendahan diri yang sempurna. Rasa cinta akan melahirkan semangat dan harapan, sementara perendahan diri akan memunculkan kehati-hatian, pengagungan dan rasa takut dari melakukan kedurhakaan kepada-Nya. Oleh sebab itulah, dengan bahasa yang serupa sebagian ulama menyatakan bahwa ibadah kepada Allah dibangun di atas dua pokok, yaitu mahabbah/kecintaan dan ta’zhim/pengagungan, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Ibadah dibangun di atas dua perkara; cinta dan pengagungan. Dengan rasa cinta maka seorang akan berjuang menggapai keridhaan sesembahannya (Allah). Dengan pengagungan maka seorang akan menjauhi dari terjerumus dalam kedurhakaan kepada-Nya. Karena kamu mengagungkan-Nya maka kamu pun merasa takut kepada-Nya. Dan karena kamu mencintai-Nya, maka kamu pun berharap dan mencari keridhaan-Nya.” (lihat asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’ [1/9] cet. Mu’assasah Aasam)

Kedua pondasi dan akar penghambaan ini pun sebenarnya telah terangkum di dalam surat al-Fatihah yang setiap hari kita baca. Misalnya, ketika kita membaca ‘alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ yang artinya, “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Segala puji bagi Allah atas dasar apa? Atas dasar nikmat-nikmat-Nya. Maka Dia (Allah) subhanahu wa ta’ala dipuji karena kesempurnaan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Dia lah Sang pemberi nikmat atas hamba-hamba-Nya. Siapa pun yang memberikan nikmat tentu berhak dipuji sesuai dengan kadar nikmat yang diberikannya. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa Allah mesti dicintai. Jiwa manusia telah tercipta dalam keadaan mencintai siapa pun yang berbuat baik kepadanya. Sedangkan Allah jalla wa ‘ala, Dia lah yang mencurahkan kebaikan dan kenikmatan. Dia lah yang paling berjasa atas hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hati manusia mencintai-Nya karena berbagai macam nikmat, karunia, dan kebaikan yang diberikan kepada mereka. Sebuah kecintaan yang tidak boleh ditandingi dengan kecintaan terhadap apapun juga.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 12 cet. Dar al-Imam Ahmad)

Di dalam kalimat ‘alhamdulillah’ ini pun telah terkandung unsur kecintaan. Karena suatu pujian tidaklah disebut dengan al-hamd kecuali apabila dibarengi dengan kecintaan, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Di dalam risalahnya Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan bahwa faidah dari ayat alhamdulillah ini adalah mahabbah alias kecintaan; yang ini merupakan salah satu pondasi penting dalam beribadah kepada Allah jalla wa ‘ala.

Bahkan, kecintaan inilah yang menjadi motor utama penggerak amalan. Kecintaan yang disertai dengan ketundukan dan kepasrahan secara penuh kepada Allah, yang itu menjadi ruh dari segala bentuk ibadah dan ketaatan. Beribadah kepada Allah tanpa dilandasi kecintaan adalah ibadah yang hampa, tiada ruhnya sama sekali.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “…Pokok semua amalan adalah kecintaan. Seorang manusia tidak akan melakukan amalan/perbuatan kecuali untuk apa yang dicintainya, bisa berupa keinginan untuk mendapatkan manfaat atau demi menolak madharat. Apabila dia melakukan sesuatu; maka bisa jadi hal itu terjadi karena untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi karena barangnya seperti halnya makanan, atau karena sebab luar yang mendorongnya seperti halnya mengkonsumsi obat. Adapun ibadah kepada Allah itu dibangun di atas kecintaan, bahkan ia merupakan hakekat/inti daripada ibadah. Sebab seandainya kamu melakukan sebentuk ibadah tanpa ada unsur cinta niscaya ibadahmu akan terasa hampa tak ada ruhnya sama sekali padanya…” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [2/3] cet. Maktabah al-‘Ilmu)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Pokok dan ruh ketauhidan adalah memurnikan rasa cinta untuk Allah semata, dan hal itu merupakan pokok penghambaan dan penyembahan kepada-Nya. Bahkan, itulah hakekat dari ibadah. Tauhid tidak akan sempurna sampai rasa cinta seorang hamba kepada Rabbnya menjadi sempurna, dan kecintaan kepada-Nya harus lebih diutamakan daripada segala sesuatu yang dicintai. Sehingga rasa cintanya kepada Allah mengalahkan rasa cintanya kepada selain-Nya dan menjadi penentu atasnya, yang membuat segala perkara yang dicintainya harus tunduk dan mengikuti kecintaan ini yang dengannya seorang hamba akan menggapai kebahagiaan dan kemenangan.” (lihat al-Qaul as-Sadid Fi Maqashid at-Tauhid, hal. 95)

Bahkan salah satu sumber utama munculnya berbagai bentuk perbuatan syirik adalah karena syirik dalam hal kecintaan. Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sumber munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (QS. al-Baqarah: 165)” (lihat ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 212)

Kecintaan yang benar adalah kecintaan yang dibarengi dengan rasa takut dan harapan. Oleh sebab itu Allah memuji para nabi dan orang-orang salih karena mereka itu berdoa dan beribadah kepada-Nya dalam keadaan ‘khaufan wa thama’an’ yaitu dengan merasa takut dan penuh pengharapan kepada Allah. Dalam kesempatan lainnya hal itu diungkapkan dengan bahasa ‘roghoban wa rohaban’ yaitu penuh dengan keinginan dan kekhawatiran. Inilah pilar-pilar penghambaan yang berakar dari perendahan diri dan pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Inilah yang dimaksud dengan dzullun taammun; perendahan yang sepenuhnya.

Hubbun taammun/kecintaan yang sepenuhnya hanya akan muncul dari sikap selalu memandang dan meyakini curahan nikmat dari Allah kepada kita, inilah yang disebut dengan istilah ‘musyahadatul minnah’. Di sisi lain, dzullun taammun/sikap perendahan diri secara penuh, ini pun hanya akan muncul dari kesadaran akan aib dan kesalahan-kesalahan kita di hadapan Allah ta’ala. Inilah yang disebut dengan muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal; mencermati aib diri dan perbuatan kita.

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan, “Ibadah yang diperintahkan itu mengandung perendahan diri dan kecintaan. Ibadah ini ditopang oleh tiga pilar; cinta, harap, dan takut. Ketiga pilar ini harus berpadu. Barangsiapa yang hanya bergantung kepada salah satunya maka dia belum beribadah kepada Allah dengan benar. Beribadah kepada Allah dengan modal cinta saja adalah metode kaum Sufi. Beribadah kepada-Nya dengan rasa harap semata adalah metode kaum Murji’ah. Adapun beribadah kepada-Nya dengan modal rasa takut belaka, maka ini adalah jalannya kaum Khawarij.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, hal. 35 cet. Dar Ibnu Khuzaimah)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/dua-akar-penghambaan/